Di tengah hiruk pikuk aksi demo issue kenaikan BBM (yang ternyata nggak jadi naik), setelah sebelumnya juga menikmati aksi pemblokiran jalan toll oleh karyawan pabrik di Bekasi (dengan hasil UMK tertinggi nasional..wah...), temen-temen di tempat kerja juga ikut menikmati hasil general increase tahun ini. Nah, seperti tahun-tahun sebelumnya, perhitungan kenaikan gaji ini baru dikalkulasi dan diputuskan di bulan ke-3, dengan perhitungan back date terhitung mulai bulan Januari, sehingga otomatis di akhir bulan Maret ini dapat rapelan 3 bulan gaji....wah..sesuwatu banget yah...Alhamdulillah yah...hehehe...
Nah..dari sini lah bermula munculnya pertanyaan atau permintaan tadi, "Boss..turunin gaji saya donk...". Aneh ya..? biasanya kita mah mintanya "Boss...naikin gaji saya donk..", mestinya gitu kan? Ternyata untuk kasus kali ini sedikit lain. Jadi ceritanya setelah terima gaji rapelan 3 bulan trus cek slip gaji, ada seorang teman yang keliatan bolak-balik ngotak-atik angka yang tertera di slip gajinya. Perhitungan general increase memang sudah diinformasikan sebelumnya mengenai formulasinya. Dengan parameter inflasi plus performance yang dicapai selama satu tahun tentunya setiap orang bisa mengkalkulasi nilai yang bakalan di dapat.
Sama halnya dengan salah satu teman di atas, kelihatannya dia menemukan kejanggalan terhadap nominal yang dia terima bulan ini, yang ternyata nilainya lebih besar dari kalkulasi sebelumnya. Setelah yakin ada yang tidak beres dengan nominal yang dia dapat, akhirnya terlontar kalimat, "Boss...turunin gaji saya donk". Si Boss tentunya cukup surprise mendengarnya...becanda kali lu..hehehe...
Singkat cerita, berbekal laporan tadi akhirnya di crosscheck ke payroll, dan hasilnya sungguh mengejutkan....perhitungan kenaikan gaji untuk seluruh karyawan ternyata ada kekeliruan...dan kelirunya adalah semua kelebihan....ada satu parameter yang terhitung dobel...waduhh...hahhaha.... Dan akhirnya diputusin untuk dikalkulasi ulang. Mengingat gaji sudah masuk ke rekening masing-masing, jadi kompensasinya bulan depan bakalan dipotong...waduuhh...hihihi....
Berbagai macam reaksi yang muncul atas "ulah" temen tadi. Sebagian meyayangkan.."kalo' gajinya kurang..protess..lha kalo' kelebihan mending diem aja lah...", sebagian lagi mengomentari kerjaan bagian payroll yang kurang teliti. Cuman yang sedikit menggelitik buat saya adalah "ulah" teman tadi untuk berani ngomong gajinya kelebihan, padahal ternyata bukan dia seorang sebenarnya yang merasakan kejanggalan tersebut.
Saya jadi ingat juga ketika suatu hari makan malam bareng keluarga di sebuah tempat di deket rumah dengan judul "Dapur Coet" (sorry..bukan iklan ya..hehe..). Karena masakan lumayan enak, baru sebentar dah ludes, sehingga musti panggil si mbak buat nambah menu lagi...(maruk yak..hihihi...). Menu tambahan meluncur..sikat habis juga. Akhirnya kita pulang dengan wajah ceria setelah menikmati makan malam yang luar biasa itu..:) tentunya setelah bayar ke kasir donk ya... Nah, begitu sampai rumah, iseng-iseng ngeliat lagi slip tagihan makan tadi. Setelah diamati dengan seksama..ehh..ternyata menu tambahan tadi belum terhitung..wahh..untung ni buat saya...cuman kan kasian juga yang yang jualan....hmmm...
Selang dua hari kemudian, sekeluarga nyempatin lagi tuh berkunjung ke "Dapur Coet", pengen menikmati lagi sensasi dua hari yang lalu. Singkatnya begitu habis semua sajian..kita minta tagihan ke si mbak dan tidak lupa bilang "Mbak, tagihan tambahin sekian ya..yang kemarin lupa nggak dihitung tu.." Si Mbak awalnya sedikit bingung, tapi dengan sedikit penjelasan panjang lebar..(sedikit kok panjang lebar..hihihi..) akhirnya dia bisa menerima argumen kita untuk "bayar lebih" malem itu, meski dengan tatapan aneh si mbak, "ngapain juga ngaku ya..kita kan nggak tahu" mungkin gitu yang ada di kepala si mbak.
Kalau melihat dari kejadian salah gaji atau salah hitung makanan di atas jadi sempet terpikir mengenai "budaya jujur" di negeri ini. Dua kasus di atas menurut saya sih bukan melihat dari nilai nominal yang diakibatkan dari kekeliruan tadi, tapi ke arah reaksi orang-orang kita terhadap "hal-hal aneh" yang dilakukan oleh orang-orang tadi (temen kerja dan saya juga donk...ihh..orang yang aneh..hihihi..). Memang akan menjadi aneh ketika kita berpikir atau bertindak diluar mayoritas orang, meski (menurut saya) tindakan tadi mestinya "tidak aneh". Hal ini yang saya pikir merupakan kebiasaan yang terbentuk dan bahkan menjadi budaya. Pada sekala yang lebih besar hal ini bisa kita analogikan dengan korupsi yang telah jadi "budaya" di negeri ini karena dianggap merupakan hal "biasa".
Ada juga pengalaman lain yang sedikit membuat merenung. Kebetulan kita ada beberapa rekanan dari Taiwan, dan dari dua kali jalan-jalan ke sana banyak sekali hal yang membuat berpikir "kenapa Indonesia tidak bisa seperti ini ya...? padahal Indonesia itu punya potensi yang lebih...dan jauh lebih dari negeri tersebut". Jawaban yang sempat terpikir di kepala adalah "kebiasaan", "budaya", "pola pikir". Dan lagi-lagi saya dibuat surprise ketika suatu hari dapat email dari mereka yang isinya "minta penurunan harga". Awalnya sempat kepikiran sebaliknya ketika melihat subject email "Adjustment Price", langsung yang terpikir adalah.."wah, minta naik harga nih..", tapi ternyata isinya adalah sebaliknya. Jadi memang di sales agreement ada klausul tentang adjustment price, bisa naik atau turun tentunya, tapi untuk supplier lokal bisa dibilang nggak ada istilah turun kalau tidak ada permintaan cost reduction dari customer..hehhe... Makanya cukup surprise terima email minta penurunan harga tadi. Memang penurunan ini berkaitan dengan terkoreksinya harga bahan baku secara global dan memang point ini yang sedang kita gulirkan untuk minta penurunan harga dari supplier lokal, sedang yang overseas belum kita sentuh...(saking (sok) sibuknya..hhihii..).
Jadi kalau balik lagi ke kasus-kasus di atas, kuncinya adalah "budaya"...ya budaya "jujur" yang selama ini banyak ditinggalkan oleh orang-orang di negeri tencinta ini. Akan terasa aneh dan merasa rugi ketika kita mengakui bahwa apa yang kita dapatkan "berlebih". Lebih baik diam ketika kelebihan haknya, tapi dengan cepat teriak keras ketika "merasa" haknya kurang. Yup...tentunya balik lagi ke pribadi dari masing-masing individu, karena tentunya yang menciptakan "budaya" dari sebuah bangsa yang besar adalah individu-individu yang ada di dalamnya. Perubahan frontal yang ekstrim hanya bisa dilakukan dengan effort yang sangat tinggi dan tentunya bisa dilakukan oleh yang punya "power" besar juga. So...siapkan "power' kita untuk melakukan "perubahan" menjadi sebuah "budaya" yang positif untuk negeri ini...are U ready..??!!
Salam,
HUM
0 comments:
Post a Comment