Ungkapan malu bertanya sesat di jalan sepertinya sudah mulai ditinggalkan di jaman modern ini. Papan penujuk jalan sudah banyak kita temui di mana-mana. Sedikit lebih masuk ke teknologi dengan mudah kita bisa menggunakan GPS yang sudah banyak build in di gadget yang kita punya sebagai petunjuk jalan, atau tinggal tanya saja ke mBah Gugel..gitu aja kok repot *:senyum.
Tersesat di sebuah padang pasir atau hutan rimba di pedalaman yang tidak ada sedikit pun petunjuk arah maupun sinyal radio mungkin hal yang seru untuk diceritakan dengan ending kisah yang heroik, tapi tersesat di dalam keramaian sebuah kota modern mungkin lebih tepat sebagai kisah konyol dengan ending tertawaan teman yang tidak ikut menyaksikan kegalauan sang korban ketika tersesat dan tidak tahu arah.
Jadi kisahnya ketika jalan-jalan gratis ke Taiwan dalam rangka kunjungan kenegaraan..(halah..*:nyengir) beberapa waktu yang lalu. Sekitar jam 8 malam waktu setempat, check in di sebuah hotel di kota Jong Li (bener nggak nulisnya?). Kebetulan hotel tempat menginap berada di area pertokoan yang lumayan ramai. Mengurungkan niat untuk mandi, langsung jalan cari menu makan malam. Jalanan lumayan ramai dengan banyak orang lalu lalang dan lampu pertokoan warna warni yang menyilaukan. Jam 9 malam lewat sedikit kembali ke hotel untuk mandi dan istirahat siap besok musti bangun pagi. Partner kerja ternyata menyimpan keinginan lain, dasar orang udik, ternyata melihat keramaian dan gemerlapnya lampu malam yang diiringi cewek-cewek dengan pakaian belum jadi (baca: mini) yang berseliweran tanpa takut masuk angin, memicu rasa ingin tahu lebih untuk menikmati lebih lagi suasana malam itu.
Jam 12 malam lewat partner kerja baru balik lagi ke hotel, bukan dengan wajah ceria setelah menikmati suasana malam tapi terlihat pucat pasi meski terlihat sedikit senyum lega terpancar dari wajahnya yang kusut. Terpaksa tidak bisa menahan tawa di atas penderitaan teman ketika dia bercerita bahwa tersesat lebih dari dua jam keliling kota jalan kaki...hahhaha...uppss..
Jadi ceritanya si teman ini cukup pede untuk jalan-jalan sendirian melihat-lihat pemandangan yang ada, meski baru pertama kali menginjakkan kaki di tempat itu dengan pertimbangan meski sudah malam tapi suasana masih cukup ramai. Dia berkeliling menyusuri pertokoan dengan berbagai macam jualan. Cukup jauh berkeliling menyusuri trotoar dengan hawa dingin sedikit menusuk meski sudah mengenakan jaket tebal, suhu luar saat itu di kisaran 15 derajat celcius, lumayan dingin dibanding suhu dingin di tanah air.
Setelah jalan-jalan dirasa cukup dan jarum jam sudah menunjukkan jam 10 malam lewat, dia memutuskan kembali ke hotel untuk beristirahat. Dan saat itu lah bencana dimulai. Pusat perbelanjaan dan pertokoan dengan lampu warna-warni di sepanjang jalan perlahan-lahan mulai tutup satu persatu. Mulailah rasa panik melanda, mengingat beberapa titik yang diingat adalah pertokoan tadi. Setelah toko pada tutup, tidak terlihat lagi jenis jualan yang dijajakan, yang terlihat hanyalah deretan pertokoan dengan tulisan kanji yang sama sekali tidak dimengerti di bawah temaramnya lampu kota di pinggir jalan. Memang jarang sekali huruf latin yang terlihat di sepanjang jalan dan pertokoan. Gelap sudah titik-titik sebagai penanda jalan pulang.
Cukup lama berputar-putar di sepanjang jalan dengan begitu banyak persimpangan dan deretan pertokoan yang hampir sama. Perasaan cuma bolak-balik saja di titik yang sama. Coba bertanya pada orang, ternyata susah sekali menemukan orang yang bisa bahasa Inggris, sedangkan bahasa Taiwan sama sekali nol besar. Bertanya ke Pinang Lady yang masih tersisa, malah jadi nggak konsen, tambah lupa jalan pulang *:nyengir. Mau coba telpon hotel ternyata tidak punya sedikitpun informasi hotel yang tercatat di hand phone maupun isi kepala. Coba menghubungi hand phone teman seperjalan, tidak aktif (maklum roaming, jadi hand phone off, ya maap *:nyengir).
Lumayan pustus asa sampai akhirnya duduk terdiam sendirian merenungi nasib tersesat di negeri orang. Bahkan katanya sempat terpikir bakalan merasakan jadi gelandangan di negeri orang dengan tidur di emperan, sungguh mengenaskan sekaligus susah untuk menahan tawa mendengar cerita penderitaan kawan satu ini. Klop sudah, membaca tulisan honocoroko-nya orang sono nggak ngerti, ngomong bahasa bule pada nggak ada yang bisa, bahkan sudah tidak malu-malu lagi untuk bertanya dengan bahasa Tarzan sampai capek nyari gaya yang mudah untuk dimengerti.
Coba untuk mencari ide dan mengingat-ingat lokasi yang cukup mudah untuk dikenali dan ditanyakan. Akhirnya dia teringat akan sebuah lokasi yang tidak jauh dari hotel tempat menginap, ya...sebuah setasiun kereta di bawah pertokoan. Dengan semangat baru akhirnya coba bertanya sekali lagi pada orang yang lewat, tentunya masih dengan bahasa Tarzan yang kali ini lebih serius peragaannya.
Naik kereta api..tut..tut..tut..siapa hendak turut..ke Bandung..Surabaya... dengan cerianya mendendangkan lagu anaknya ketika setasiun kereta api berhasil ditemukan dan akhirnya bisa kembali ke hotel dengan selamat meski penuh perjuangan dan berdarah-darah (*lebay.com), untungnya tidak ditangkap polisi dikira TKI ilegal lagi *:senyum.
Meski bukan saya sendiri yang mengalami kejadian tadi, saya bisa membayangkan bagaimana paniknya kawan saya saat kejadian. Ternyata meski tidak malu untuk bertanya, kita tetap bisa tersesat juga kalau tidak bisa bertanya dan tidak bisa membaca meski lokasi jauh dari padang pasir atau hutan rimba belantara. Ternyata juga, bahasa Tarzan lebih manjur diterapkan di tengah kota modern ketimbang bahasa bule yah..*:senyum.
Salam,
HUM
0 comments:
Post a Comment