Pekan Produk Kreatif Daerah (PPKD) resmi ditutup hari ini meski batal dihadiri Ahok sang DKI-2. Karena bertepatan dengan digelarnya agenda tahunan Pekan Raya Jakarta (PRJ) di Kemayoran, pagelaran ini lebih ngetrend dengan sebutan PRJ Monas. Apakah perhelatan ini merupakan pagelaran tandingan?
Meski sempat terjadi sedikit polemik tentang penyelenggaraan acara ini yang disebut sebagai acara tandingan PRJ Kemayoran, saya setuju dengan klarifikasi Jokowi bahwa ini bukan acara tandingan, lha wong dua-duanya milik kita kok. Meski demikian, insiden “Kerak Telor” memperlihatkan perbedaan misi visi dari penyelenggaraan dua acara ini.
Acara PRJ Monas ini begitu antusias disambut oleh warga Jakarta, terbukti dengan membludaknya pengunjung yang menyebabkan kemacetan yang mestinya sudah “biasa” di Ibukota ini. Saya sebagai warga pinggiran Ibukota kebetulan tidak menyaksikan secara langsung acara PRJ Monas ini, dan selama 10 tahun lebih tinggal di sini, baru 1 kali datang ke perhelatan PRJ Kemayoran :D dan satu kesan tercatat di kepala, “kapok..macet..”.
Sebagai warga biasa yang terus terang awam masalah politik, saya sedikit memperhatikan sepak terjang Jokowi. Kalau dilihat dari kacamata saya yang minus politik ini, ada sedikit fenomena yang bertolak belakang dengan gaya Jokowi saat menjabat Walikota Solo sebelumnya. Satu catatan yang ada di kepala saya saat wawancara Jokowi di sebuah stasiun TV saat cerita tentang relokasi PKL di Solo. Ternyata proses relokasi tidak mudah dan cepat. Butuh waktu berbulan-bulan dan mediasi dengan para PKL berkali-kali, dengan hasil relokasi berjalan lancar. Kesabaran Jokowi untuk “program” di Solo itu berbeda sekali dengan “program” di DKI yang “terlihat” serba instan, salah satunya PRJ Monas.
Salah yang lain menurut catatan awam saya, ada program kartu sehat untuk warga miskin yang menuai banyak kontroversi mengenai kesiapan infrastruktur dan dukungan dari pelayanan kesehatan. Kemudian ada lagi program plat nomor ganjil-genap yang ditunda pelaksanaannya, lagi-lagi masalah kesiapan sarana pendukungnya. Salah satu catatan dari pelaksanaan PRJ Monas ini juga mengenai kesiapan pendukungnya. Komentar mengenai tata kota sampai kesiapan lokasi yang semrawut dan kemacetan di seputaran Monas menjadi catatan penyelenggaraan agenda ini.
Politik pencitraan terpaksa saya sebut di sini meski terkesan basi. Saya sangat setuju dengan insight positif dari semua program instan Jokowi di atas yaitu untuk rakyat. Dan tentunya sangat tepat sekali mengusung citra “untuk rakyat” ini dalam politik di tanah air saat ini, suara rakyat sangat menentukan.
Saya tidak begitu kenal dengan sepak terjang FX. Hadi Rudyatmo, pendamping Jokowi saat jadi Walikota Solo. Tapi sepertinya pilihan Ahok sebagai pendamping Jokowi sebagai DKI-2 merupakan pilihan tepat untuk suksesnya program instan di Ibukota. Gaya “radikal” Ahok sangat pas untuk gebrakan-gebrakan cepat, cocok untuk warga Ibukota yang tiap hari disuguhi dengan tuntutan untuk “cepat” ditengah kemacetan.
Tuntutan kecepatan ini tentunya juga linier terhadap waktu. Bukan tidak mungkin Jokowi merubah gaya “sabar” menjadi “instan” karena tuntutan agenda yang lebih besar dan terbatasnya waktu. Media sebagai pencatat, perekam jejak dan penyebar informasi dan citra merupakan alat yang sangat efektif untuk akselerasi yang serba instan tadi.
Mie instan memang nikmat dan efektif untuk mengenyangkan perut, tapi kata ahli kesehatan kurang baik mengkonsumsinya secara berlebihan. Lebih enak makanan olahan dari alam, hasil budidaya para petani kita yang alami dan menyehatkan.
Mudah-mudahan yang diolah Jokowi-Ahok bukan hasil produksi pabrik politik dengan bumbu kimiawi yang menguasai tapi merupakan makanan rakyat seutuhnya yang diolah dengan takaran yang tepat dan cepat saji yang mengenyangkan serta menyehatkan bangsa ini.
Masalah kemacetan dan banjir merupakan makanan alami penduduk Ibukota yang mudah-mudahan bisa di atasi dengan cara penyajian instan duo master chef kita ini. Kita tunggu gebrakan instan berikutnya… :)
0 comments:
Post a Comment