Sebagai pengamat sekaligus pelaku dalam lingkaran industri otomotif, saya sedikit tergelitik untuk merangkai benang merah antara pengembangan proyek mobil murah atau istilah asingnya LCGC (Low Cost Green Car) dan LCE (Low Carbon Emission) dengan strategi politik dari para politisi di tanah air. Hal ini tentu saja ketika kita kaitkan dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No.41 Tahun 2013 tentang barang mewah kena pajak. Mari kita coba analisa satu persatu bagaimana kaitannya.
Proyek LCGC ini sebenarnya sudah digulirkan dari tahun lalu. Kolaborasi Toyota-Daihatsu bahkan sudah punya master schedule untuk peluncuran mobil murah mereka yang diberi kode D80 di akhir tahun 2012. Dalam setiap proyek peluncuruanline up terbaru masing-masing car maker, strategi pasar pasti merupakan hal pertama yang harus dimiliki oleh setiap produsen mobil. Toyota-Daihatsu sebagai raksasa industri otomotif selalu menempatkan diri sebagai pionir untuk urusan mobil baru. Penetrasi pasar dengan produksi massal dengan jaminan kualitas tinggi danbrand image Toyota merupakan modal kuat untuk mendominasi pasar di setiap segmen.
Tapi dalam proyek LCGC kali ini, sedikit lain dari proyek yang biasanya. Tarik ulur kebijakan pemerintah menjadi salah satu penentu dalam permainan masing-masing produsen mobil. Begitu PP No. 41 resmi keluar pada bulan Juni yang lalu, peta percaturan industri otomotif langsung berubah. Kemunculan mobil murah dari berbagai ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek) secara hampir bersamaan meluncurkan line up masing-masing di bulan September ini. Hal ini sedikit “menyalahi” skenario proyek yang “biasanya” dimana raksasa Toyota-Daihatsu yang membuka pasar di awal kemudian akan diikuti oleh produsen yang lain. Suzuki yang biasanya mengambil porsi sebagai kuda hitam setelah peluncuran duet maut Toyota-Daihatsu, ternyata sudah siap untuk peluncuran mobil murahnya yang berkode YR9. Demikian juga Honda yang bersamaan juga meluncurkan Brio versi LCGC dengan kode 2CF yang akan disusul dengan 2MD dan juga Nissan dengan K2-nya. Padahal “biasanya” Honda tidak akan masuk ke segmen head to headdengan Toyota-Daihatsu dalam waktu bersamaan. Honda lebih mengambil strategi “exclusive” dan “brand minded” dari para penggemarnya dengan konsep luxury dan elegan, bukan produksi massal sejuta umat sehingga tetap mempunyai pasar tersendiri meski harga selalu di atas para pesaing dalam line up yang setara.
Lalu apa kaitannya dengan strategi politik di tanah air?
Seperti yang saya sampaikan di awal bahwa kebijakan pemerintah untuk mengeluarkan PP No.41 tadi lah yang mengakibatkan perubahan skenario proyek dari masing-masing pelaku industri otomotif. Kalau PP No.41 sudah keluar jauh-jauh hari di tahun lalu, urutan skenario peluncuran masing-masing merek tentunya tidak akan jauh-jauh dari “pakem” di atas, tentunya terkait dengan strategi pasar dan kesiapan produksi masing-masing produsen mobil. Hal ini bisa jadi menguntungkan buat konsumen karena bisa “memilih” tanpa harus menunggu keluarnya model dari setiap produsen. Apakah merupakan sinyal positif bagi para pelaku industri otomotif? Saya bilang bisa jadi malah membuat bumerang bagi masing-masing pelaku industri otomotif. Dengan kebijakan yang tarik ulur dan cukup lama baru diterbitkan, kesiapan para pelaku industri otomotif dituntut kecepatan ekstra untuk segera penetrasi ke pasar, dan kali ini lebih berat karena setiap produsen sudah siap untuk mengeluarkan unitnya secara bersamaan. Artinya perlu strategi dan tenaga ekstra untuk bisa bersaing dengan kompetitor.
Bumerangnya seperti apa?
Dengan keluarnya kebijakan pemerintah, proyek yang cukup lama terkatung-katung harus segera digenjot kapasitas produksinya. Kecepatan akselerasi ini tentunya harus diikuti oleh mekanisme supply chain yang bagus. Kesiapan setiap suppliermenjadi penentu kecepatan akselerasi penetrasi ke pasar. Apa jadinya jika rencana awal investasi sementara hold karena belum keluarnya kebijakan yang kemudian tiba-tiba diluncurkan ketika mendekati 2014? Tentu saja akan terjadi rush productionyang menuntut kecepatan kesiapan sarana dan prasarana penunjang produksi dan bisa jadi efek samping terhadap kualitas terjadi.
Bukan tanpa alasan kenapa PP No.41 sempat tertahan hampir satu tahun dan tiba-tiba diluncurkan ketika mendekati penghujung 2013 menyongsong 2014. Pemilu tahun depan bisa jadi merupakan salah satu alasan di balik tertunda dan terbitnya PP ini. Kontroversi kenapa pemerintah lebih merangkul LCGC yang notabene produksi orang luar dibanding ESEMKA yang produksi anak bangsa menjadi bagian tersendiri dari sebuah strategi politik. Alasan secara logis kenapa pemerintah lebih memilih mengembangkan LCGC ini tentunya cukup beralasan karena jargon ‘mobil murah” tentunya memang harus murah. Pelaku industri di dunia otomotif tentunya lebih siap dengan sarana dan teknologi untuk produksi massal sehingga biaya yang dikeluarkan bisa ditekan rendah. Kalau tetap mengusung ESEMKA sebagai “mobil murah” bisa jadi malah akan menjadi “mobil murahan” karena untuk mencapai kualitas setara dengan pabrikan besar butuh biaya yang sangat tinggi. Jadi dengan menggandeng pabrikan otomotif besar yang sudah berpengalaman, “mobil murah” akan terealisasi yang memang benar-benar murah tanpa mengorbankan kualitas. Hal ini akan menjadi daya tarik tersendiri bagi kalangan menengah ke bawah untuk lebih “respect” pada pemerintah sekarang yang “memperhatikan” rakyatnya. Dan tentu saja bisa jadi modal untuk perolehan suara nanti pada Pemilu mendatang.
Kedua kalau kita lihat dari sisi psikologis politik. Pemilihan LCGC bukannya ESEMKA dijadikan peluru untuk mematahkan citra merakyat dari Jokowi. Kalau ESEMKA yang dikembangkan tentunya akan semakin meningkatkan pamor dari sosok Jokowi yang tentunya lawan politik dari penguasa sekarang. Berbagaistatement saling kontroversi dilontarkan baik oleh Jokowi maupun dari kubu pemerintah lewat sang menteri maupun wapres. Kita coba lihat hasil dari permainan politik masing-masing kubu selanjutnya.
Hal berikutnya bisa jadi merupakan strategi bisnis politik. Ijin produksi LCGC yang dikeluarkan tentunya menjadi angin segar bagi para pelaku industri otomotif. Target keuntungan dari setiap unit yang diproduksi menanti di depan mata. Deal politik terhadap bisnis ini bisa saja tercipta antara pengusaha dan pengambil keputusan di pemerintahan. Biaya kampanye menjelang Pemilu yang tidak sedikit bisa jadi menjadi salah satu alat tawar keluarnya kebijakan produksi mobil murah ini. Simbiosis mutualisme atau malah sebuah konspirasi bisnis dan politik mungkin saja tercipta dari kondisi ini.
Sebagai rakyat biasa yang hanya bisa mengamati dan coba merangkai sepotong-sepotong, analisa di atas tentunya minim dengan dasar yang kuat, hanyalah sebuah imajinasi dari kontroversi hati atas labil ekonomi sebagai bentuk statusisasi kemakmuran yang mudah-mudahan tidak menimbulkan konstipasi :D
LCGC sebagai mobil murah ini bisa jadi merupakan produk gagal, terutama bagi orang-orang yang tetap saja tidak mampu menyisihkan uangnya untuk membelinya. Ya..produk gagal…gagal beli.. ^_^
0 comments:
Post a Comment